v Patogenesis Molekuler
Sel limfosit
CD4 merupakan target utama pada infeksi HIV. Sel ini berfungsi sentral dalam
system imun. Pada mulanya system imun dapat mengendalikan infeksi HIV, namun
dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV akan menimbulkan penurunan jumlah sel
limfosit CD4, terganggunya homeostasis dan fungsi sel-sel lainnya dalam system
imun tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan berbagai gejala penyakit dengan
spectrum yang luas. Gejala penyakit tersebut terutama merupakan akibat
terganggunya fungsi imunitas seluler, di samping imunitas humoral karena
gangguan sel T helper (TH) untuk mengaktivasi sel limfosit B.
HIV
menimbulkan patologi penyakit melalui berbagai mekanisme, antara lain:
terjadinya defisiensi imun yang menimbulkan infeksi oportunistik, terjadinya
reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas dan kecenderungan terjadinya
malignansi atau keganasan pada stadium lanjut. Infeksi HIV terjadi melalui tiga
jalur transmisi utama, yaitu transmisi melalui mukosa genital, transmisi
langsung ke peredaran darah melalui jarum suntik , dan transmisi vertical dari
ibu ke janin. Untuk busa menginfeksi sel, HIV memerlukan reseptor dan reseptor
utama untuk HIV adalah molekul CD4 pada permukaan sel penjamu. Namun reseptor
CD4 saja tidak cukup. Ada beberapa sel yang tidak mempunyai reseptor CD4, tapi
dapat diinfeksi oleh HIV. Di samping itu telah ditemukan juga koreseptor
kemokin yang mempunyai peranan sangat penting dalam masuknya HIV ke dalam sel
yaitu CCR5 dan CXCR4. Penelitian intensif di bidang virology HIV dan kemajuan
di bidang imunologi akhir-akhir ini dapat dengan lebih jelas menerangkan
bagaimana HIV masuk ke dalam sel penjamu dan menimbulkan perubahan patologi
pada tubuh manusia.
v Mekanisme Imunitas Pada Keadaan
Normal
Aktivasi sel
Th dalam keadaan normal terjadi pada awal terjadinya respons imunitas. Th dapat
teraktivasi melalui dua sinyal, yaitu: pertama terikatnya reseptor Ag – TCR (T
Cell Reseptor) dengan kompleks Antigen-Molekul MHC Class II yang
dipresentasikan oleh makrofag sebagai antigen presenting cells (APCs) yang
teraktivasi oleh antigen. Sinyal kedua berasal dari Sitokin IL-1 yang
dihasilkan oleh APC yang teraktivasi tadi. Kedua sinyal tadi akan merangsang Th
mengekspresikan reseptor IL-2 dan produksi IL-2 dan sitokin lain yang dapat
mengaktivasi makrofag, CTLs (sitotoksik T limfosit atau TC) dan sel limfosit B.
IL-2 juga akan berfungsi auto aktivasi terhadap sel Th semula dan sel Th
lainnya yang belum memproduksi IL-2 untuk berpoliferasi. Jadi dengan demikian
akan terjadi amplifikasi respons yang diawali oleh kontak APCs dengan sel Th
semula.
Aktivasi sel
Tc yang berfungsi untuk membunuh benda asing atau nonself-antigen, dan Tc yang
dapat dibedakan denga Th karena Tc mempunyai molekul CD8 dan akan mengenal antigen
asing melalui molekul MHC class I. seperti sel Th, sel Tc juga teraktivasi
melalui dua sinyal, yaitu sinyal pertama adalah iteraksi reseptor Ag-TCR dengan
kompleks epitop benda asing dan molekul MHC class I. sel tersebut bisa berupa
sel tumor atau jaringan asing. Sinyal kedua adalah rangsangan dari sitokin IL-2
yang diproduksi oleh sel Th tersebut. Tangan ke tiga dari imunitas seluler di
lakukan oleh sel NK (natural killer), yaitu sel limfosit dengan granula kasar
dan petanda CD16 dan CD56. Fungsinya secara non spesifik menghancurkan langsung
sel-sel asing, sel tumor atau sel yang terinfeksi virus. Atau juga dengan cara
spesifik untuk sel-sel yang dilapisi oleh antibody dependent cell mediated
cytotoxicity (ADCC).
Aktivasi sel
limfosit B memerlukan paling sedikit tiga sinyal, yaitu pertama oleh imunogen
yang terikat pada reseptor antigen, dan dua sinyal lainnya adalah limfokin BCDF
(B cell differentiation factor) dan BCGF (B cell growth factor) yang diprodusi
oleh sel Th yang teraktivasi. Dengan aktivitas sel limfosit B, maka akan
terjadi pertumbuhan dan differensiasi sel limfosit B menjadi sel plasma sebagai
sel yang akan memproduksi antibody.
v Pengaruh HIV Terhadap Sistem Imun
HIV terutam
menginfeksi limfosit CD4 atau T helper (Th), sehingga dari waktu ke waktu
jumlahnya akan menurun, demikian juga fungsinya akan semakin menurun. Th
mempunyai peranan sentral dalam mengatur system imunitas tubuh. Bila
teraktivasi oleh antigen, Th akan merangsang baik respons imun seluler maupun
respons imun humoral, sehingga seluruh sistem imun akan terpengaruh. Namun yang
terutama sekali mengalami kerusakan adalah sistem imun seluler. Jadi akibat HIV
akan terjadi gangguan jumlah maupun fungsi Th yang menyebabkan hamper
keseluruhan respons imunitas tubuh tidak berrlangsung normal.
v Patogenesis HIV
Perjalanan
Infeksi HIV
Perjalanan khas infeksi HIV yang tidak diobati, berjangka waktu sekitar
satu decade. Tahap-tahapnya meliputi infeksi primer, penyebaran virus ke organ
limfoid, latensi klinis, peningkatan ekspresi HIV, penyakit klinis dan
kematian. Durasi antara infeksi primer dengan progresimenjadi penyakit
rata-rata sekitar 10 tahun. Pada kasus yang tidak diobati, kematian biasanya
terjadi dalam 2 tahun setelah onset klinis.
Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan
viremia permulaan; viremia dapat terdeteksi selama 8-12 minggu. Virus tersebar
luas ke seluruh tubuh selama masa ini, dan menjangkiti organ limfoid. Suatu
sindroma akut yang mirip mononucleosis timbul pada banyak pasien (50-75%) 3-6
minggu setelah infeksi primer. Pada tahap ini terjadi penuruna jumlah sel T CD4
yang beredar secara significan. Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu
hingga 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma menurun, dan level CD4 kembali
meningkat. Tetapi respon imun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna
dan sel-sel yang terinfeksi HIV menetap dalam limfonodi.
Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa in
terjadi banyak replikasi virus. Diperkirakan sekitar 10 milyar paryikel HIV
diproduksi dan dihancurkan setiap harinya.waktu paruh virus dalam plasma adalah
sekitar 6 jam, dan siklus hidup virus (dari saat infeksi sel ke saat produksi
keturunan baru yang menginfeksi sel berikutnya) rata-rat 2,6 hari. Limfosit T
CD4+, target utama yang bertanggung jawab pada produksi virus tampaknya
mempunyai angka pembalikan yang sangat tinggi. Bila terinfeksi secara
produktif, waktu paruh limfosit T CD4+ adalah 1,6 hari. Karena cepatnya
proliferasi virus ini dan angka kesalahan reverse transkripsi HIV yang
berkaitan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin
bermutasi dalam batas harian.
Akhirnya pasien akan menderita penyakit-penyakit konstitusional dan
penyakit klinis yang nyata, seperti infeksi opportunistic dan neoplasma. Level
virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi selam tahap infeksi yang lebih lanjut.
HIV yang ditemukan pada pasien dengan penyakit tahap lanjut, biasanya jauh
lebih virulen dan sitopatik daripada strain virus yang ditemukan pada awal
infeksi. Seringkali pergesaran dari HIV-1 monosit-tropik dan makrofag-tropik
(M-tropik) menjadi varian limfosit-tropik (T-tropik) menyertai progresi menjadi
AIDS.
v CD4+
Limfosit T
Gambaran cardinal dari infeksi HIV adal;ah deplesi limfosit penginduksi
T-helper yang menghasilkan tropoisme HIV terhadap populasi limfosit ini,
sehingga menginfeksi petanda fenotipik CD4 pada permukaannya. Molekul CD4
adalah reseptor utama untuk HIV; ia memiliki afinitas yang tinggi untuk amplop
virus. Koreseptor HIV pada limfosit adalah reseptor khemokin CXCR4.
Pada awal infeksi, isolat HIV primer adalah M-tropik. Tetapi semua strain
HIV menginfeksi limfosit T CD4+ primer (tetapi bukan lini sel T yang dikekalkan
secar in vitro). Sewaktu infeksi berlanjut, virus yang dominan M-tropik
digantikan oleh virus T-tropik. Adaptasi laboratorium isolate primer dalam lini
sel T yang dikekalkan menghilangkan kemampuannya untuk menginfeksi monosit dan
makrofag.
Akibat dari difungsi sel T CD4+ yang disebabkan oleh infeksi virus HIV
bersifat mematikan karenakarena limfosit T CD4+ memainkan peran yang sangat
penting dalam respon imun manusia. Ia bertanggung jawab baik secar langsung
maupun tidak langsung dalam induksi sederetan fungsi-fungsi sel limfoiddan
nonlimfoid. Efek-efek ini berupa aktivasi makrofag, induksi fungsi-fungsi
sitotoksik sel T, sel-sel natural killer, dan sel B; serta sekresi berbagai
factor terlarut , yang merangsang pertumbuhan dan differensiasi sel-sel
limfoid, serta mempengaruhi sel-sel hematopoetik.
v Monosit
dan makrofag
Monosit dan makrofag berperan penting dalam penyebaran dan pathogenesis
infeksi HIV. Subunit monosit tetentu mengekspresi antigen permukaan CD4 dan
oleh karena itu berikatan pada amplop HIV. Koreseptor HIV pada makrofag dan
monosit adalah khemokin CCR5. Di dalam otak, tipe sel utama yang terinfeksi
oleh HIV tampaknya adalah monosit dan makrofag, dan ini merupakan konsekuensi
penting untuk perkembangan manifestasi neuropsikiatri yang disebabkan oleh
infeksi HIV. Makrofag alveolus paru yang terinfeksi mungkin berperan dalam
pneumonitis interstisial yang dijumpai pada pasien AIDS tertentu.
Strain HIV makrofag-tropik mendominasi pada awal infeksi dan strain-strain
ini bertanggung jawab pada infeksi permulaan bahkan bila sumber penularan
mengandung virus M-tropik maupun T-Tropik.
Diyakini bahwa monosit dan makrofag berperan sebagai reservoir utama bagi
HIV dalam tubuh. Tidak seperti limfosit T CD4+, monosit relative kukuh pada
efek sitopati HIV, sehingga virus tidak hanya bertahan hidup dalam sel ini
tetapi juga dapat dipindahkan ke berbagai organ tubuh (seperti paru-paru dan
otak).
v Organ
Limfoid
Organ –organ limfoid memainkan peran sentral dalam infeksi HIV. Limfosit
dalam darah tepi hanya mewakili sekitar 2 % total pool limfosit, sisanya
terutama berada di dalam organ-organ limfoid. Di dalam organ limfoid inilah
respon imun spesifik dibentuk. Jaringan sel-sel dendrite follikuler dalam
pusat-pusat germinal pada limfonodi mrnjrbak antigen dan menstimulasi suatu
respon imun. HIV bereplikasi secara aktif dalam jaringan limfoidke seluruh
perjalana infeksi yang tidak diobati bahkan selama tahap latensi klinis.
Lingkungan mikro limfonodi ideal untuk menetap dan menyebarnya infeksi HIV.
Sitokin dilepaskan, mengaktifasi fool besar limfosit T CD4+ yang sangat rentan
terhadap infeksi HIV. Ketika tahap lanjut penyakit HIV mengalami progresi,
arsitektur limfonodi menjadi terputus.
v Sel-sel
Saraf
Abnormalitas neurologis lazim terjadi pada AIDS dan pada 40-90% pasien
terjadi di dalam derajat yang bervariasi. Ini meliputi ensefalopati HIV,
neuropati perifer dan yang paling serius, kompleks demensia AIDS. Baik
mekanisme pathogen langsung maupun tidak langsung bisa menjelaskan manifestasi
neuropsikiatrik pada infeksi HIV. Tipe sel domina dalam otak yang terinfeksi
oleh HIV adalah monosit dan makrofag. Virus bisa masuk ke otak melalui monosit
yang terinfeksi dan melepaskan sitokin yang toksik terhadap sel saraf seperti
factor khemotaktik yang menyebabkan infiltrasi sel-sel peradangan otak. HIV
telah ditemukan pada neuron, oligodendrit dan astrosit dalam jumlah yang
terbatas.
v Koinfeksi
Virus
Sinyal aktivasi dubutuhkan untuk terjadinya infeksi HIV yang produktif.
Pada seseorang terinfeksi HIV, spectrum luas dari stimulus in vivo tampaknya
berperan sebagai activator seluler. Sebagai contoh infeksi akut oleh
Mycobacterium tuberculosis mempengaruhi peningkatan viremia plasma. Infeksi
viral yang bersamaan oleh virus EB, cytomegalovirus, virus herpes simpleks,
atau virus hepatitis B menginduksi ekspresi HIV dan bisa berperan sebagai
kofaktor AIDS. Terdapat prevalensi infeksi cytomegalovirus yang tinggi pada
pasien yang positif HIV.
0 komentar:
Posting Komentar
Thankz atas kunjungannya,,, ^_^